Polri Tidak Konsisten Tangani Kasus Zatapi
Penghentian kasus zatapi oleh Mabes Polri menuai kontroversi. Sebagian kalangan menengarai ada mafia hukum yang bekerja di balik penghentian tersebut.
Dengan alasan tidak menemukan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi impor minyak mentah zatapi, Mabes Polri menghentikan penyidikan kasus tersebut. Menurut Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), tidak ditemukan unsur kerugian negara.
”Kalau tidak ada kerugian negara, mana bisa diproses? Sudah SP3 (dihentikan penyidikannya), dan itu sudah terbit beberapa minggu yang lalu,” ujar Kapolri saat ditemui seusai Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Mabes Polri dan Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen Jakarta, pekan lalu.
Sebelumnya, Mabes Polri berjanji tidak akan menghentikan kasus dugaan korupsi tersebut. Janji itu diungkapkan mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji tak lama setelah mantan Kapolri Jenderal Pol Sutanto diangkat sebagai salah satu komisaris Pertamina. ”Kita tidak mau ada kemungkinan penghentian kasus itu dulu,” kata Susno ketika itu.
Namun kenyataannya, dengan alasan hasil audit BPKP menyatakan tidak ada kerugian negara, kasus dihentikan awal Februari 2010. Padahal, saat kasus itu mengemuka dan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bahan Bakar Minyak (BBM) DPR RI meminta bantuan BPKP untuk memeriksa kasus tersebut, awal 2008, BPKP menemukan ada potensi kerugian negara hingga 427 miliar rupiah. Berdasarkan hasil audit itulah, kasus tersebut kemudian ditangani Bareskrim Mabes Polri.
Periksa Ulang
Terkait dengan pemeriksaan yang saling bertolak belakang tersebut, Koordinator Pusat Data dan Analis Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menyatakan sebaiknya dibentuk tim independen yang memeriksa ulang kasus tersebut.
“Kami usulkan agar ada tim independen yang melakukan koreksi ulang terhadap penghentian kasus tersebut. Termasuk meneliti ulang penyidikan yang telah dilakukan Polri,” ujarnya.
Pihaknya menduga ada mafia hukum dan ekonomi yang memunyai kepentingan tertentu dalam penghentian kasus zatapi ini. Sebab, situasi di lapangan dengan alasan Polri yang hanya mendasarkan pada hasil audit BPKP sangat bertentangan.
“Kalau begini, Polri itu tidak konsisten menangani kasus zatapi. Mestinya, sebelum dihentikan, Polri berkonsultasi dengan kejaksaan atau KPK karena ini kasus korupsi,” tambahnya.
Menanggapi desakan ICW tersebut, Direktur III Tipikor Mabes Polri Brigjen Pol Yovianes Mahar mengatakan dalam memeriksa kasus tersebut, pihaknya menggunakan dua auditor, yaitu BPKP dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
”Kita sudah gunakan dua auditor. Selain BPKP, kita gunakan BPK,” ucapnya. Menurutnya, hasil audit kedua badan negara tersebut menyatakan tidak ada unsur kerugian negara. ”Dengan dihentikan kasus tersebut, berarti status keempat pejabat yang sebelumnya tersangka bukan lagi tersangka,” tuturnya.
Pada kesempatan berbeda, Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Sulistyo Ishaq menegaskan dengan dihentikannya kasus tersebut, berarti belum ada cukup bukti untuk melanjutkan kasus tersebut.
“Kalau tidak ada cukup bukti, kan sebaiknya dihentikan. Jika diteruskan berarti kita mengada-ada,” tukasnhya.
Sementara itu, pengamat perminyakan, Kurtubi, menyayangkan penghentian penyidikan yang terlalu dini tersebut. ”Minyak zatapi itu campuran dari berbagai jenis minyak, jadi termasuk minyak yang aneh. Potensi kerugian negara itu baru dapat terlihat ketika ada kerusakan pada kilang minyak yang mengolah atau menggunakan minyak tersebut. Dan kerusakan tersebut dapat dilihat tidak dalam waktu dekat, tetapi setelah digunakan minimal setahun,” katanya.
Jadi, lanjutnya, aneh bila Mabes Polri langsung menyatakan kasus itu dihentikan. ”Jadi sangat disayangkan bila kasus tersebut langsung dihentikan. Seharusnya juga dilihat kerusakan yang ditimbulkan dari pengolahan minyak tersebut,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar