Senin, 05 November 2012

Jadikan Warisan Budaya, Kretek Tak Perlu Pengakuan UNESCO

Jadikan Warisan Budaya, Kretek Tak Perlu Pengakuan UNESCO

Rokok kretek telah menjadi bagian dari masyarakat Kudus, Jawa Tengah, sejak lama. Anggota DPR RI Komisi IX, Rieke Diah Pitaloka, meminta masyarakat Indonesia menjadikan kretek sebagai warisan budaya.

Indonesia memang tidak ikut menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC ) yang dikeluarkan oleh WHO. Namun, keberadaan aturan tersebut mengancam keberadaan rokok kretek di Indonesia. Terlebih lagi, rokok jenis ini menyumbang devisa besar hingga Rp100 triliun. Untuk melindungi rokok kretek ini, Anggota DPR RI Komisi IX, Rieke Diah Pitaloka, meminta masyarakat Indonesia menjadikan kretek sebagai warisan budaya.

"Munculnya FCTC  ini ditindaklanjuti dengan munculnya RPP Tembakau, tentunya mengancam keberadaan rokok kretek yang merupakan asli Indonesia. Jika di Kuba ada cerutu, maka kretek ini adalah khas Indonesia. Kita harus mempertahankan jangan sampai kretek ini hilang. Devisa untuk rokok kretek ini mencapai Rp100 triliun," papar politisi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini dalam sebuah seminar di Surabaya.

Dia menambahkan, untuk melindungi rokok kretek, masyarakat Indonesia harus keluar dari mainstream dengan menolak FCTC atau RPP Tembakau. Menurutnya, langkah tersebut sama halnya ikut meramaikan genderang yang sudah ditabuh oleh para pemilik modal untuk memusnahkan rokok kretek. Artinya, perdebatan itu terjadi dalam persoalan untung-rugi dan masalah angka-angka saja. Konkritnya adalah menjadikan rokok kretek sebagai warisan budaya indonesia.

Berbicara tembakau, tegasnya, langsung berbicara tentang kretek. Mantan pemeran Oneng dalam sinetron "Bajaj Bajuri" ini menceritakan, di era perjuangan kemerdekaan, rokok kretek memberikan banyak sumbangan. Yakni, ketika Soekarno, Presiden pertama RI di dalam penjara Sukamiskin, Bandung.

Saat itu, seorang kurir bernama Inggrid mengirimi Soekarno sejumlah rokok kretek. Selain rokok tersebut dikonsumsi, dari secarik kertas rokok kretek inilah, Soekarno menuliskan ide-ide perjuangan Indonesia. Saat itu, rokok kreteknya bermerek Kelobot yang diproduksi di Jawa Barat.

"Nilai historisnya sangat kental. Belum lagi rokok kretek sudah ada sejak ratusan tahun lalu," tandasnya.

Berbicara soal tembakau, lanjutnya, petani di Indonesia memiliki nilai-nilai yang membuat bangsa ini berkepribadian dalam budaya. Seperti, ritual dalam setiap musim tanam dan panen serta kapan hasil ini dijual. Menurutnya, kondisi ini tidak akan masuk ke dalam dugaan perang antara industri farmasi dan rokok luar negeri.

"Kretek ini adalah persoalan budaya bangsa. Ketika kretek diganggu, orang Indonesia akan marah. Sama halnya ketika Reog Ponorogo diklaim oleh Malaysia," jelasnya.

Ia juga menyarankan kretek menjadi warisan budaya tidak perlu ada pengakuan dari UNESCO. Analoginya seperti batik. Indonesia secara formal baru memiliki batik ketika mendapat pengakuan dari UNESCO pada 3 Oktober dan diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Padahal, lanjut Rieke, batik sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Kondisi ini menunjukkan bangsa Indonesia tidak berdaulat di bidang hukum sehingga bergantung pada UNESCO.

"Untuk kretek, saya kira tidak perlu ada pengakuan dari UNESCO. Kita sebagai bangsa Indonesia yang harus menjaga warisan budaya ini. Kalau UNESCO mengakui, ya malah bagus lah," pungkasnya.


SUMBER: OKEZONE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar